Selasa, 24 Mei 2011

perkembangan kebijakan moneter dan fiskal

   Kebijakan moneter dan kebijakan fiscal merupakan suatu kebijakan yang mengatur persoalan keuangan negara, moneter, produksi, eksport, import, pajak, dan persoalan pembiayaan pembangunan. Kebijakan moneter adalah “sebagai politik atau kebijaksanaan pemerintah (melalui Bank Sentral) untuk mengawasi jumlah uang beredar (supply of money) dalam mendorong, memelihara dan menciptakan serta mempertahankan :
1. tingkat kegiatan ekonomi yang tinggi
2. perluasan kesempatan kerja, dan
3. tingkat harga-harga yang stabil

Intrumen-instrumen kebijakan moneter meliputi :
1. Politik diskonto dan tingkat suku bunga
2. Politik pasar terbuka (open arket operation)
3. Politik cadangan minimum (reserve requirement policy)
4. Pengawasan pinjaman secara selektif (selective credit control)
5. Pembujukan moral atau moral suasin.

    Kebijakan fiscal ialah kebijakan pemerintah yang dalam hal ini Departemen Keuangan untuk membuat dan melaksanakan deregulasi untuk menarik pendapatan negara dan mengefisenkan pembiayaan penyelenggaraan negara. Pendapat Negara tentunya dari produksi dalam negeri dan pajak sementara pengeluaran adalah belanja rutin negara, biaya import, pembiayaan proyek-proyek pembangunan dan sebagainya
.
    Sementara otonomi daerah adalah pendelegasian kewenangan penyelenggaran pemerintahan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten. Otonomi daerah merupakan suatu system desentralisasi kebijakan pemerintah yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat kini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. 

    Dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan daerah menjadi semakin luas untuk mengatur seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiscal, agama, serta kewenangan dalam bidang lain. 

    Menjadi catatan yang akan menjadi persoalan bagi pelaksanaan undang-undang ini adalah pada implikasi penerapannya yang sangat mungkin akan bertentangan dengan kebijakan moneter dan kebijakan fiscal dari pemerintah pusat serta kebijakan lainnya yang mungkin terjadi ketidak-sesuaian antara keinginan pemerintah pusat dan pemrintah daerah. Daam hal ini butuh kearifan dari masing-masingnya agar rakyat tidak lagi menjadi korban.

   Sebagai gambaran besar, keadaan yang kita hadapi pada dasarnya adalah Indonesia belum sepenuhnya keluar dari krisis. Meskipun beberapa sector kegiatan ekonomi mulai tampak bergerak maju, namun belum sepenuhnya pulih pada kondisi semuyla. Bersamaan dengan itu globalisasi sudah menerpa Indonesia dari segal sisi, khususnya, ekonomi dan politik. Belum tuntasnya penerapan dan penetaan daerah lewat otonomi daerah membuat beban kita semakin berat. Tiga sector utama, yaitu pemerintah, bisnis, dan nir-laba belum mempunyai kecukupan kompetensi mengahadapi tantangan ini.

   Kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonenesia dengan melakukan kebijakan uang ketat (thigt money rate) dan penerapan nilai tukar mengambang (floating exchange rate) , tidak dapat membendung spekulasi terhadap rupiah dan tidak dapat mengerem kepanikan masyarakat untuk melepas rupiah sebagai upaya untuk mengamankan kekayaan. Keadaan demikian menunjukkan rupiah tidak lagi dipercaya oleh masyarakat luas, dunia usaha, dan mitra usaha luar negeri, sehingga nilainya berfluktuasi tidak pasti. Bank run pun terjadi dan pelarian arus modal keluar tak dapat dihindari. Akhirnya sector moneter bersama-sama sector ekonomi yang lainnya rusak berat, karena sector produktif riil, beragam perusahaan, dan institusi perbankan sendiri gagal melaksanakan fungsinya.

   Pada sisi fiscal, penarikan pajak menjadi beban yang harus ditanggung oleh rakyat akibat gempa moneter tersebut. Pajak seakan-akan menjadi pilihan terakhir dari berbagai alternatif yang ada untuk membiayai Negara dan sejumlah hutang luar negeri yang harus dibayarnya. Akibatnya konsumsi domestic menurun drastis dan laju inflansi semakin tak terkendali. Dalam hal ini pemerintah seakan ragu-ragu dan bingung bagaimana menghadapi krisis moneter.

      Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter dan kebijakan fiscal yang dilakukan pemerintah belum mengangkat Indonesia keluar dari krisis moneter. Tetapi justeru menimbulkan produksi dan konsumsi rakyat menjadi menurun akibat penarikan pajak yang dilakukan oleh pemerintah tidak menggunakan criteria. Kompetensi Pemerintah daerah untuk memanfaatkan kebijakan moneter dan kebijakn fiscal pemetintah pusat kurang mampu diterjemahkan karena pemerintah daerah poor management. Pemerintah daerah menjadi manja dan terus berharap pada dana perimbangan, pinjaman, dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sebagai suatu saran pemerintah pusat harus konsisten melaksnakan undang-undang otonomi daerah dan tegas dalam pelaksanaan undang- undang penyelenggraan Negara yang bersih dan bebas KKN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar